Puasa Ramadhan di hari pertama adalah puasa yang dirasakan masih sangat berat. Bahkan terkadang lupa sampai makan dan minum diluar kesadarannya. Sebagai seorang muslim yang taat kami akan menjalankan perintah puasa itu dengan penuh tanggungjawab. Saya, isteri saya dan kedua anak saya yang masih kecil akan kami latih kami ajarkan untuk berpuasa dengan harapan kelak di kemudian hari jika mereka sudah dewasa sudah terbisa menjalankan ibadah puasa.
Namun yang namanya karakter anak tetap saja tidak bisa dibandingkan dengan orang dewasa. Selalu saja ada hal unik yang hampir kami kewalahaan untuk mengatasinya. Misalnya saat hari kedua puasa di depan rumah kami berdiri dua orang dewasa sambil menggenggam botol minuman dingin di tangannya dan sebatang rokok di tangan lainnya. Saya tau dua orang ini muslim, dari keluarga muslim pula, namun mereka tidak mau berpuasa, terlihat mereka bangga bisa menunjukkan dirinya tidak puasa. Ketika menyaksikan pemandangan itu anak saya hanya bisa diam, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi setelah kedua “iblis” itu pergi anak saya pun berkata “Pak, kok itu orang tidak disuruh puasa, sedangkan dede yang masih kecil bapak paksaain untuk puasa, dede minum ya pak seperti orang itu”.
Dengan segenap kemampuan saya sebagai orang tua saya berusaha menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara puasa dan iman. Saya jelaskan bahwa yang menjalankan ibadah puasa itu hanya orang orang yang beriman. Saat saya menjelaskan itu saya baru ingat bahwa anak saya yang berumur kurang dari tujuh tahun itu baru sedang belaajr menghafalkan rukun iman. Terjadilah perdebatan kecil antara ayah dan anak, dan tidak berakhir damai karena keinginan anak tidak terpenuhi. Akhirnya dengan senjata pamungkas seorang ayah yang bertanggungjawab akan berkata “Nak, ikuti ayah untuk berpuasa, jangan ikuti orang itu, dia itu iblis yang menyerupai manusia”.
Entah benar atau tidak yang jelas kekesalan sang ayah terhadap tingkah laku kedua iblis itu sedikit terobati.
Puasa berjalan seminggu, kampung kami semakin tak karuan. Orang -orang yang tidak berpuasa semakin terlihat nyata dan bertambah banyak. Mereka merasa berada di posisi yang benar. Sementara kami yang sedang berpuasa disalahkan. “Duh Gusti yang Maha Agung, berilah teguaran yang keras kepada mereka yang telah menginjak-injak perintah-Mu”. Untunglah saya hanya menjadi sebagian kecil dari mahluk Allah yang tak berdaya, sehingga saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan tingkah mereka yang sudah menyerupai iblis. Dalam hati hanya dapat merasakan kesal, marah dan bingung harus berbuat apa. Sebelum kami datang, kampung ini memang sudah terbentuk seperti ini. Tak mungkin kami dapat merubahnya dengan tangan kosong.
Seminggu menjelang lebaran, makin kacaualah kampung kami. Tak terasa lagi bulan puasa, yang nampak adalah kesibukan orang-orang yang serakah, yang hanya memikirkan duniawi, baju baru, sepatu baru, cat rumah yang baru, makanan enak dan stoknya banyak.
Keadaan ini semakin tidak dapat dimengerti oleh anak saya yang masih belajar hafalan rukun iman. Dalam hati kecil ini masih ada harapan untuk bisa lepas [walaupun hanya sementara] dari semua kesombongan iblis-iblis penggoda iman. Kapan? Ya tentu saja pas lebaran datang. Dengan cara meninggalkan kampung yang penuh kemaksiatan ini walau pun hanya sesaat, untuk menuju kampung yang damai sejahtera [Mudik].
Namun, apa yang terjadi. corona telah menghancurkan semuanya, rencana matang yang telah dibukukan jauh-jauh hari sebelum lebaran akhrinya harus kandas. Kami harus menyaksikan iblis-iblis penggoda iman itu ikut merayakan lebaran, ikut bersenang-senang. Sucinya satu syawal tak dapat kami rasakan, yang ada hanya kelucuan yang terbungkus baju lebaran.
Filed under: Umum | Leave a comment »